Thursday 27 October 2016

Pengertian,Dasar,Tujuan dan Larangan Perkawinan



1.Pengertian Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Prof. Subekti, SH
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Pengertian Pernikahan atau Perkawinan menurut Ahmad Ashar Bashir, Pernikahan adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah.

Menurut Mahmud Yunus, Pengertian Pernikahan atau Perkawinan ialah akad antara calon laki istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat. Dalam hal ini, aqad adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari calon suami atau wakilnya.

Sulaiman Rasyid mengemukakan Pengertian Pernikahan atau Perkawinan, Pernikahan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban seta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.

Pengertian Pernikahan atau Perkawinan menurut Abdullah Sidiq, Penikahan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang hidup bersama (bersetubuh) dan yang tujuannya membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinaan dan menjaga ketentraman jiwa atau batin.

Pengertian Pernikahan atau Perkawinan menurut  PROF. SUBEKTI, SH, Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama
2.Dasar dan Tujuan Perkawinan

Dasar dan tujuan tersebut dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir-bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
1.      Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya itu.
2.      Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 “ Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui “
[1035]  Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Melaksanakan sunnah Rasul sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi SAW yang artinya :
“ Perkawinan adalah peraturanku, barang siapa yang benci kepada peraturanku, bukanlah ia termasuk umatku. (H.R. Bukhari dan Muslim) “
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir “
Perkawinan dalam islam juga bertujuan untuk memelihara pandangan mata dan menjaga kehormatan diri sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi SAW Yang Artinya :
" Dari Abdullah Bin Mas’ud ia berkata, telah berkata kepada kami Rasulullah SAW : Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup kawin maka hendaklah ia kawin, maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh Agama) dan memelihara faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu adalah perisai baginya” (H.R. Buhkari dan Muslim)
Selain itu perkawinan dalam islam adalah bertujuan untuk mendapat keturunan yang sah serta sehat jasmani, rohani dan social, memper erat dan memperluas hubungan kekeluargaan serta membangun hari depan individu, keluarga dan masyarakat yang lebih baik.
Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan yaitu ” perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Arti bahagia sebenarnya bukan konsep fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil adari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun bisa juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami dan istri.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan perkawinan dijelaskan pada pasal 3 KHI yaitu ” Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan wa rahmah. ” Artinya tujuan perkawinan sesuai dengan konsep Hukum Islam. Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.
Hal ini berbeda menurut pasal 4 KHI yaitu ” perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan perkawinan dalam konsep hukum Islam, namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974.
Jadi Tujuan Pernikahan atau Tujuan Perkawnian ialah kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan melangsungkan pernikahan atau perkawinan bertujuan untuk memperoleh keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai tujuan pernikahan akan dibahas sebagai berikut.

ØTujuan Pernikahan Sakinah (tenang)
Salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan adalah untuk memperoleh keluarga yang sakinah. Sakinah artinya tenang, dalam hal ini seseorang yang melangsungkan pernikahan berkeinginan memiliki keluarga yang tenang dan tentram. Dalam Tafsirnya Al-Alusi mengatakan bahwa sakinah adalah merasa cenderung kepada pasangan. Kecenderungan ini merupakan satu hal yang wajar karena seseorang pasti akan merasa cenderung terhadap dirinya.
Apabila kecenderungan ini disalurkan sesuai dengan aturan Islam maka yang tercapai adalah ketenangan dan ketentraman, karena makna lain dari sakinah adalah ketenangan. Ketenangan dan ketentraman ini yang menjadi salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan. Karena pernikahan adalah sarana efektif untuk menjaga kesucian hati agar terhindar dari perzinahan.
ØTujuan Pernikahan Mawadah dan Rahmah
Tujuan pernikahan yang selanjutnya adalah untuk memperoleh keluarga yang mawadah dan rahmah. Tujuan pernikahan Mawadah yaitu untuk memiliki keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah. Tujuan pernikahan Rahmah yaitu untuk memperoleh keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.
Mengenai pengertian mawaddah menurut Imam Ibnu Katsir ialah al mahabbah (rasa cinta) sedangkan ar rahmah adalah ar-ra’fah (kasih sayang). Mawaddah adalah makna kinayah dari nikah yaitu jima’ sebagai konsekuensi dilangsungkannya pernikahan. Sedangkan ar rahmah adalah makna kinayah dari keturunan yaitu terlahirnya keturunan dari hasil suatu pernikahan. Ada juga yang mengatakan bahwa mawaddah hanya berlaku bagi orang yang masih muda sedangkan untuk ar-rahmah bagi orang yang sudah tua.
Implementasi dari tujuan pernikahan mawaddah wa rahmah ini adalah sikap saling menjaga, saling melindungi, saling membantu, saling memahami hak dan kewajiban masing-masing. Pernikahan adalah lambang dari kehormatan dan kemuliaan. Fungsi pernikahan diibaratkan seperti fungsi pakaian, karena salah satu fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat. Aurat sendiri bermakna sesuatu yang memalukan, karena memalukan maka wajib untuk ditutup. Dengan demikian seharusnya dalam hubungan suami istri, satu sama lainnya harus saling menutupi kekurangan pasangannya dan saling membantu untuk mempersembahkan yang terbaik.
3.      Larangan Perkawinan

Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Didalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam Pasal 39. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3. Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Juga di dalam Pasal 40 disebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41 berisi:
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42 tertera larangan sebagai berikut, Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43 juga menyebutkan bahwa:
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali.
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.


3 comments: